Sabtu, 04 Juli 2009

Efek Infus Sarang Semut (Hydnophytum formicarum Jack) Yang Diberikan Pada Tahap Organogenesis Terhadap Perkembangan Embrio Mencit (Mus musculus L.)P

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kondisi Indonesia sebagai Negara tropis memiliki keanekaragaman tumbuhan yang mendorong masyarakat lebih memilih memanfaatkan tumbuh-tumbuhan sebagai bahan obat-obatan tradisional. Obat tradisional adalah obat yang diolah menjadi obat jadi yang berasal dari tumbuh-tumbuhan (Wijayanti, 2003). Obat tradisional merupakan obat yang telah terbukti digunakan oleh masyarakat secara turun temurun untuk memelihara kesehatan ataupun untuk mengatasi gangguan kesehatan.

Sarang semut (Hydnophytum formicarum Jack) merupakan salah satu tanaman yang bisa dimanfaatkan sebagai obat alternatif. Tanaman obat ini sering digunakan oleh masyarakat untuk menyembuhkan beberapa penyakit (Subroto dan Hendro, 2008). Selanjutnya Subroto dan Hendro, (2008) menyatakan bahwa “Sarang semut mengandung flavonoid dan alkaloid yang secara empiris ampuh mencegah sekaligus mengatasi serangan kanker”.

Senyawa flavonoid yang terkandung dalam sarang semut yang digunakan dalam kemoterapi kanker memiliki sifat menghambat perkembangan sel dengan mengganggu salah satu proses yang esensial. Mekanisme kerja dari flavonoid yang sudah terungkap, misalnya inaktivasi karsinogen, antiproliferasi, penghambatan siklus sel, induksi apoptosis, diferensiasi dan inhibisi angiogenesis (Puspitasari, 2008). Selain itu sebuah golongan senyawa murni yang telah berhasil diisolasi dari ekstrak heksana Hydnophytum formicarum Jack adalah stigmasterol yang memiliki aktivitas sitotoksik terhadap sel kanker payudara dan sel kanker nasofaring (Subroto dalam Trubus, 2006).

Mengingat obat kanker bersifat mengganggu dan membunuh sel yang sedang membelah, maka obat kanker diduga merupakan bahan yang potensial untuk menimbulkan efek teratogenik (Patt dan Ruddon dalam Santos, 1992). Selain itu Goodman dan Gilman (dalam Santos 1992) menyatakan ”Karena tidak ada perbedaan kualitatif antara sel kanker dan sel normal, maka semua anti kanker bersifat sitotoksik. Berdasarkan pendapat tersebut, maka sarang semut diduga dapat menimbulkan kelainan pada perkembangan embrio.

Perkembangan embrio pada tahap organogenesis merupakan fase perkembangan yang sangat rentan terhadap pengaruh lingkungan baik fisik maupun lingkungan kimia. Hal ini disebabkan sel embrio sedang mengalami mitosis yang sangat cepat serta adanya proses diferensiasi yang mengikutinya. Hal ini didukung oleh pendapat Panjaitan (2003) yang menyatakan bahwa ”Tahap organogenesis merupakan tahap dimana sel secara intensif mengalami diferensiasi dan mobilisasi akibatnya embrio sangat rentan terhadap efek teratogen”.

Untuk mengetahui hal ini, maka perlu dilakukan penelitian tentang efek infus sarang semut (Hydnophytum formicarum Jack) yang diberikan pada tahap organogenesis terhadap perkembangan embrio mencit (Mus musculus L.).

1.2 Identifikasi masalah

Berdasarkan dari latar belakang di atas, maka permasalahan yang timbul dapat diidentifikasikan sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaruh yang ditimbulkan setelah pemberian infus sarang semut terhadap perkembangan embrio mencit?

2. Apakah ada perbedaan jumlah embrio yang normal dan jumlah embrio yang malformasi pada mencit yang diberi dan yang tidak diberi infus sarang semut?

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: Bagaimanakah efek infus sarang semut (Hydnophytum formicarum Jack) yang diberikan pada tahap organogenesis terhadap perkembangan embrio mencit (Mus musculus L).

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui efek infus sarang semut (Hydnophytum formicarum Jack) yang diberikan pada tahap organogenesis terhadap perkembangan embrio mencit (Mus musculus L).

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai:

1. Bahan informasi bagi mahasiswa dan masyarakat mengenai efek infus sarang semut (Hydnophytum formicarum Jack) yang diberikan pada tahap organogenesis terhadap perkembangan embrio mencit (Mus musculus L).

2. Bahan informasi untuk pengembangan mata kuliah perkembangan hewan.

BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS

2.1 Tinjauan Tentang Sarang Semut (Hydnophytum formicarum Jack)

2.1.1 Habitat dan Morfologi

Sarang semut (Hydnophytum formicarum Jack) merupakan tumbuhan dari Rubiaceae yang berasosiasi dengan semut (Subroto, 2008). Di habitat liarnya sarang semut dihuni oleh beragam jenis semut. Hasil identifikasi yang dilakukan terhadap sarang semut (Hydnophytum formicarum Jack) menunjukkan bahwa tumbuhan ini dihuni oleh koloni semut dari jenis Ochetellus sp.

Secara ekologi, sarang semut tersebar dari hutan bakau dan pohon-pohon di pinggir pantai hingga ketinggian 2400 m di atas permukaan laut (dpl) (Subroto dan Hendro, 2008). Hydnophytum formicarum Jack terdapat pada hutan primer dan hutan sekunder, tetapi paling banyak ditemukan di hutan mangrove, sampai ketinggian 1000 m dpl. (Anonim, 2009). Tumbuhan ini bersifat epifit, artinya menempel pada tumbuhan lain, tidak hidup secara parasit pada inangnya tetapi hanya memanfaatkannya untuk menempel. Tumbuhan ini ditemukan menempel pada pohon Bruguiera di hutan mangrove yang ada di Seram propinsi Maluku.

Sarang semut merupakan tumbuhan perdu dan dapat tumbuh hingga 60 cm. Batang berkayu, silindris, tidak bercabang, pangkal menggelembung membentuk bulatan yang kadang bisa mencapai diamater 25 cm, berwarna cokelat muda, permukaan tidak berduri, bagian dalam berbentuk rongga bersekat-sekat. Memiliki daun tunggal, bertangkai, tersusun menyebar namun lebih banyak terkumpul di ujung batang, berwarna hijau, bentuk bulat panjang, panjang 7-15 cm, lebar 2-4 cm, helaian daun agak tebal dan keras, ujung tumpul (obtusus), pangkal meruncing, tepi rata, permukaan halus, tulang daun berwarna putih (Anonim, 2009). Sarang semut memiliki bunga berwarna putih. Buah berbentuk bulat dan berwarna merah.

Kedudukan sarang semut dalam taksonomi tumbuhan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)

Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)

Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil)

Sub Kelas : Asteridae

Ordo : Rubiales

Famili : Rubiaceae (suku kopi-kopian)

Genus : Hydnophytum

Spesies : Hydnophytum formicarum Jack (Anonim, 2009)

2.1.2 Kandungan Kimia dan Khasiat Sarang Semut

Sekian banyak jenis sarang semut, hanya 3 jenis yang berkhasiat sebagai obat, Hydnophytum formicarum, Myrmecodia pendans dan Myrmecodia tuberosa. Dari 3 spesies tersebut hanya Hydnophytum formicarum dan Myrmecodia pendans yang memiliki dukungan ilmiah. Subroto (dalam Trubus, 2006) menyatakan bahwa ”Sarang semut (Hydnophytum formicarum Jack) mengandung senyawa toksisitas, antikanker, flavonoid, alkaloid dan stigmasterol”. Secara empiris sarang semut telah terbukti dapat meyembuhkan beragam penyakit ringan dan berat, seperti kanker, tumor, pembengkakan, sakit kepala, liver, masalah pencernaan, penyakit jantung, penyakit tulang, penyakit kulit, penyakit paru-paru, sakit di persendian, bahan campuran obat antidiabetes, kanker, hepatitis, rematik dan diare.

2.2 Tinjauan Tentang Mencit (Mus musculus)

2.2.1 Klasifikasi dan Morfologi

Dalam klasifikasi makhluk hidup, mencit menempati kedudukan sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Class : Mamalia

Ordo : Rodentia

Family : Muridae

Genus : Mus

Species : Mus musculus L. (Anonim, 2008).

Mencit (Mus musculus L.) merupakan anggota Muridae (tikus-tikusan) yang berukuran kecil. Mencit memiliki panjang badan antara 65 sampai dengan 95 mm dari ujung hidung sampai ke ujung badan, ekor memiliki panjang antara 60 sampai 105 mm (Anonim, 2008). Bulu berwarna coklat muda sampai hitam, dan secara umum memiliki warna putih atau kekuning-kuningan pada bagian perut. Berat tubuh antara 12 sampai 30 gram (Anonim, 2008).

2.2.2 Reproduksi Mencit

Mencit memiliki potensi reproduksi yang baik. Masa kawin terjadi sepanjang tahun. Mencit memiliki masa kehamilan yang relatif singkat bila dibandingkan dengan manusia. Seperti yang dikemukakan oleh Campbell et al. (2004) bahwa ”Umumnya hewan pengerat (Rodentia) mempunyai periode kehamilan sekitar 21 hari”. Mencit yang termasuk dalam ordo Rodentia merupakan hewan yang beranak banyak dan frekuensi beranak yang tinggi (Yatim, 1982). Dalam satu kali reproduksi menghasilkan tiga sampai dua belas keturunan (Anonim, 2008).

Sistem reproduksi pada mencit betina mengalami suatu daur yang berulang secara berkala dan teratur disebut daur estrus. Seperti halnya mamalia yang lain, masa birahi pada mencit betina datang secara berkala. Masa birahi ini disebut dengan estrus. Sylar (2008) menyatakan bahwa ”Lama satu daur estrus pada mencit adalah 4-5 hari.

Isnaeni (2006) menyatakan bahwa ”Siklus estrus terdiri atas empat tahapan yaitu tahap diestrus, proestrus, estrus, dan metestrus”. Mencit merupakan poliestrus dan ovulasi terjadi secara spontan. Daur estrus pada hewan polyestrus terbagi atas tiga tahapan yaitu proestrus, estrus, dan diestrus. Nongae (dalam Sylar, 2008) menyatakan bahwa ”Fase proestrus dimulai dengan regresi corpus luteum dan berhentinya progesteron dan memperluas untuk memulai estrus”. Pada fase ini terjadi pertumbuhan folikel yang sangat cepat. Akhir periode ini adalah efek estrogen pada sistem saluran dan gejala perilaku perkembangan estrus yang dapat diamati. Selanjutnya Shearer (dalam Sylar, 2008) menyatakan bahwa ”Fase proestrus berlangsung sekitar 2-3 hari dan dicirikan dengan pertumbuhan folikel dan produksi estrogen”. Estrogen ini merangsang pertumbuhan selluler pada alat kelamin tambahan, terutama pada vagina dan uterus. Fase estrus merupakan periode waktu ketika betina reseptif terhadap jantan dan akan melakukan perkawinan. Pasokan darah ke dalam sistem reproduksi meningkat dan sekresi kelenjar dirangsang dengan membangun viscid mucus yang dapat diamati pada vulva. Shearer (dalam Sylar, 2008) menyatakan bahwa ”Kira-kira setelah 14-18 jam, fase estrus mulai berhenti”. Selanjutnya betina tidak mengalami ovulasi hingga setelah fase estrus.

Fase metestrus diawali dengan penghentian fase estrus. Umumnya pada fase ini merupakan fase terbentuknya corpus luteum sehingga ovulasi terjadi selama fase ini. Fase diestrus merupakan fase corpus luteum bekerja secara optimal. Fase ini disebut juga fase persiapan uterus untuk kehamilan (Nongae, 2008 (dalam Sylar, 2008)). Fase ini merupakan fase yang terpanjang di dalam siklus estrus. Terjadinya kehamilan atau tidak, corpus luteum akan berkembang dengan sendirinya menjadi organ yang fungsional yang menghasilkan sejumlah progesteron. Jika telur yang dibuahi mencapai uterus, maka corpus luteum akan dijaga dari kehamilan. Jika telur yang tidak dibuahi sampai ke uterus maka corpus luteum akan berfungsi hanya beberapa hari setelah itu maka corpus luteum akan meluruh dan akan masuk siklus estrus yang baru (Shearer, 2008 (dalam Sylar, 2008)).

Teknik preparat apus vagina ternyata paling bermanfaat, terutama pada spesies yang memiliki siklus estrus pendek seperti mencit dan tikus. Pada spesies ini, jaringan vagina dapat mencerminkan kejadian-kejadian pada ovarium paling tepat. Seperti yang diungkapkan Papanicolaou (dalam Yatim, 1982) ” Vagina smears (usapan vagina) ditambah dengan usapan cervix dan endomentrium, dapat menunjukan waktu ovulasi betina secara tepat. Ciri- ciri dari siklus estrus pada mencit adalah pada fase diestrus, vagina terbuka kecil dan jaringan berwarna ungu kebiruan dan sangat lembut. Pada fase proestrus, jaringan vagina berwarna pink kemerahan dan lembut. Pada fase estrus, vagina mirip dengan pada saat fase proestrus, namun jaringannya berwarna pink lebih terang dan agak kasar. Pada fase metestrus, jaringan vagina kering dan pucat (Hill, 2006 (dalam Sylar, 2008)).

2.2.3 Fase-Fase Perkembangan Embrio

Hutahean (2002) menyatakan bahwa ”Perkembangan embrio mamalia dapat dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu tahap praimplantasi, tahap organogenesis dan tahap fetogenesis”. Tahap pra implantasi adalah tahap setelah terjadinya fertilisasi. Proses perkembangan embrio diawali dengan proses pembelahan. Pada mamalia pembelahan terjadi secara holoblastis. Pembelahan pertama akan melalui bidang latitudinal yang terletak dibagian atas bidang ekuator. Pembelahan kedua melalui bidang meridional, tetapi hanya pada blastomer kutub vegetal. Kemudian diikuti dengan pembelahan blastomer di kutub animal, sehingga terbentuk 4 blastomer. Pembelahan ketiga terjadi pada blastomer di kutub vegetal secara tidak serentak. Kemudian diikuti dengan pembelahan blastomer di kutub animal yang juga terjadi secara tidak bersamaan. Di akhir pembelahan ketiga akan terbentuk 8 blastomer. Selanjutnya terjadi pembelahan yang juga terjadi secara tidak beraturan (Yatim, 1982).

Rugh (dalam Panjaitan, 2003) mengemukakan “Pembelahan sel yang pertama pada tikus maupun mencit terjadi 24 jam (1 hari) setelah pembuahan”. Pembelahan terjadi secara cepat di dalam oviduk dan berulang-ulang. Menjelang hari ke-2 setelah pembuhan embrio sudah berbentuk morula 16 sel. Bersamaan dengan pembelahan, embrio bergulir menuju uterus. Menjelang hari ke-3 kehamilan embrio telah masuk ke dalam uterus, tetapi masih berkelompok-kelompok. Pada akhirnya embrio akan menyebar di sepanjang kandungan dengan jarak yang memadai untuk implantasi dengan ruang yang cukup selama masa pertumbuhan.

Sperber (dalam Panjaitan, 2003) menyatakan bahwa “Diakhir tahap pembelahan akan terbentuk blastula”. Blastula akan membentuk massa sel sebelah dalam (ICM) dan tropectooderm yang akan berkembang menjadi plasenta. ICM (inner cell mass) akan berkembang menjadi hipoblas dan epiblas, dimana epiblas akan berkembang menjadi embrio sedangkan hipoblas akan berkembang menjadi selaput ekstra embrio. Menurut Rugh (dalam Panjaitan, 2003) “Blastomer akan terimplantasi pada hari ke-4 kehamilan dan berakhir pada hari ke-6 kehamilan”. Kemudian diikuti dengan proses gastrulasi, yakni adanya perpindahan sel dan diferensiasi untuk membentuk lapisan ektoderm, mesoderm dan endoderm.

Pada awal kehamilan, dimana sel-sel belum terdiferensiasi maka sel-sel tersebut masih bersifat totipotensi. Sehubungan dengan itu Lu (dalam Panjaitan, 2003) menyatakan “Tahap pra diferensiasi adalah tahap dimana embrio tidak rentan terhadap zat teratogen, karena sel yang masih hidup akan menggantikan kerusakan tersebut dan membentuk embrio yang normal”. Lamanya keadaan resisten ini berkisar antara 5-9 hari tergantung dari spesies. Selanjutnya jika sel telah mengalami perpindahan dan berdiferensiasi maka zat kimia yang masuk kedalam tubuh induk, yang tidak ataupun mencapai embrio akan menimbulkan efek yang merugikan pada embrio.

Perkembangan selanjutnya adalah tahap organogenesis. Pada tahap ini embrio mengalami transformasi bentuk dan susunan tubuh secara berangsur sehingga akhirnya mencapai bentuk definitif. Proses disaat embrio bentuk primitif tumbuh menjadi bentuk definitif dan memiliki bentuk dan rupa yang spesifik disebut morphogenesis atau organogenesis. Proses organogenesis pada mencit berlangsung pada umur 6-15 hari kebuntingan dan lama kebuntingan 18-20 hari (Santos, 1992). Bentuk definitif ini embrio yang sudah seperti bentuk dewasa. Bagian bentuk tubuh embrio dari bentuk primitif mengalami diferensiasi terperinci dan lengkap.

Transformasi dan diferensiasi bagian-bagian embrio bentuk primitif berupa (1) ekstensi dan pertumbuhan bumbung-bumbung yang terbentuk pada tubulasi, (2) evaginasi dan invaginasi daerah tertentu setiap bumbung, (3) pertumbuhan yang tidak merata pada berbagai daerah bumbung, (4) perpindahan sel-sel dari satu bumbung ke bumbung yang lain, (5) pertumbuhan alat yang terdiri dari berbagai macam jaringan dan bumbung, (6) pengorganisasian alat-alat menjadi sistem, dan (7) penyelesaian bentuk luar atau morfologi embrio secara terperinci (Yatim, 1982).

Tahap organogenesis adalah proses pembentukan organ dari lapisan ektoderm, mesoderm, endoderm dan derivat-derivatnya. Organogenesis pada bumbung epidermis menumbuhkan lapisan epidermis kulit dengan derivatnya yang bertekstur tanduk berupa kuku, bulu. Kelenjar-kelenjar kulit berupa kelenjar minyak bulu, kelenjar keringat, kelenjar ludah, kelenjar lendir dan kelenjar air mata. Lensa mata, alat telinga dalam, indra bau dan indra raba. Stomodeum menumbuhkan mulut, dengan derivatnya seperti gigi, kelenjar ludah dan indera pengecap. Proctodeum menumbuhkan dubur bersama kelenjarnya.

Organogenesis pada bumbung endoderm menumbuhkan lapisan epitel seluruh lapisan pencernaan mulai dari pharing sampai rektum. Kelenjar-kelenjar pencernaan hepar, pankreas serta kelenjar lendir yang mengandung enzim dalam esophagus, gaster, dan intestinum. Lapisan epitel paru atau insang. Kloaka yang jadi muara ketiga saluran pembuangan berupa ureter, rektum, dan kelamin. Lapisan epitel vagina, uretra vesica urinaria, dan kelenjar-kelenjarnya. Organogenesis pada bumbung ektoderm menumbuhkan otak dan sum-sum punggung, saraf tepi otak, bagian persarafan indra mata, hidung dan indra peraba, serta menumbuhkan chromatophore kulit dan alat-alat tubuh yang berpigmen.

Organogenesis pada bumbung mesoderm menumbuhkan berbagai alat berupa (1) jaringan pengikat dan penunjang, (2) otot lurik, otot polos, dan otot jantung, (3) mesenkim yang dapat berdiferensiasi menjadi berbagai macam sel dan jaringan, (4) gonad, saluran dan kelenjar-kelenjarnya, (5) ginjal dan ureter, (6) lapisan otot dan jaringan pengikat, berbagai saluran dalam tubuh seperti saluran pencernaan, kelamin, trakea, bronchi, dan pembuluh darah, (7) lapisan rongga tubuh dan selaput-selaput berbagai alat pleura, pericardium, peritoneum, dan mesenterium, (8) jaringan ikat dan alat-alat seperti hati, pankreas, kelenjar buntu dan (9) lapisan dentin, cementum, dan periodontium gigi serta pulpanya (Yatim, 1982).

Dikatakan bahwa tahap organogenesis merupakan tahap dimana sel secara intensif mengalami diferensiasi, mobilisasi dan organogenesis, akibatnya embrio sangat rentan terhadap efek teratogen. Periode ini biasanya berakhir pada hari ke 10-14 kehamilan pada hewan pengerat, dan pada pada minggu ke 14 pada manusia (Panjaitan, 2003). Tahap organogenesis merupakan tahap pembentukan organ-organ dimana sel telah mengalami proses diferensiasi dan setiap sel memiliki tanggung jawab dalam pembentukan tiap organ. Oleh karena itu jika sel mengalami kerusakan tidak bisa digantikan oleh sel lain karena setiap sel telah memiliki fungsi masing-masing. Berdasarkan hal ini jika efek suatu agensia toksik menimpa embrio pada tahap organogenesis, maka dapat mengganggu perkembangan organ dan dapat menyebabkan kecacatan yang dapat diamati saat lahir (Hutahean, 2002).

Tahap terakhir pada pertumbuhan embrio adalah tahap fetogenesis. Tahap fetogenesis ditandai oleh penyempurnaan jaringan dari alat-alat dalam, pematangan fungsi serta pertumbuhan cepat. Fetus atau janin merupakan tahap lanjut dari embrio. Tahap ini ditandai dengan perkembangan dan pematangan fungsi, artinya selama tahap ini senyawa kimia tidak akan menyebabkan cacat tetapi mengakibatkan kelainan fungsi (Lu ,dalam Panjaitan, 2003).

2.2.4 Plasenta

Plasenta merupakan jaringan atau alat temporer tempat melekatnya embrio ke uterus. Plasenta tumbuh dari jaringn proses nidasi yaitu dari tubuh embrio dan dari tubuh induk. Jaringan dari tubuh embrio disebut chorion, dari tubuh induk adalah decidua.

Menurut Yatim (1982) ”plasenta yang sudah sempurna terbentuk dari jaringan nidasi, terdiri dari (i) Chorionic plate dari pihak embrio, dilapisi sebelah luar oleh amnion, (ii) basal plate, dari pihak induk (decidua), (iii) villi dari pihak embrio, terendam dalam ruang intervillus pihak induk, dan (iv) tali pusat, berisi arteri dan vena umbilicus, dilapisi sebelah luar oleh amnion”.

Plasenta berfungsi sebagai paru-paru untuk keluar masuk gas pernapasan, sebagai usus untuk mengabsorpsi bahan makanan, sebagai ginjal untuk membuang ampas metabolisme janin dan menghasilkan zat untuk memelihara pertumbuhan janin (Yatim, 1982). Plasenta bertanggung jawab terhadap nutrisi embrio, juga berfungsi dalam sistem pengeluaran. Fungsi yang penting adalah dalam sistem pengeluaran. Semua yang diberikan kepada embrio harus melalui plasenta.

Menurut Siswosudarmo (dalam Lamondo, 1997) bahwa ”Meskipun fetus di dalam kandungan telah dilindungi oleh plasenta namun tidak terlepas sama sekali dari pengaruh buruk obat atau senyawa kimia yang masuk ke dalam tubuh induknya”. Dengan adanya sirkulasi fetal yang berhubungan langsung dengan sirkulasi maternal, maka molekul obat maupun metabolitnya kemungkinan dapat masuk ke dalam fetus. Untuk memasuki sirkulasi fetal secara alamiah telah ada penyaringannya, yaitu barier plasenta. Namun karena komposisi membran tersebut adalah lipid, maka dengan sendirinya obat atau senyawa kimia yang mempunyai sifat-sifat fisikokimia tertentu akan melewati membran tersebut dengan mudah. Obat yang larut dalam lemak lebih mudah menembus membran dan semakin luas terdistribusi dalam sirkulasi dan jaringan fetus. Berat molekul juga berpengaruh terhadap kemampuan transpor obat melewati plasenta. Obat-obat dengan berat molekul kecil (250-500) lebih mudah menembus plasenta (Lamondo, 1997). Obat atau substansi lain dapat menembus plasenta terutama secara difusi dan transpor aktif.

2.3 Tinjauan Tentang Flavonoid, Alkaloid dan Stigmasterol serta Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Embrio Tahap Organogenesis

Senyawa flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon, dimana dua cincin benzen (C6) terikat pada suatu rantai propana (C3) sehingga membentuk suatu susunan C6-C3-C6 (Lenny, 2006). Alkaloid adalah suatu golongan senyawa organik yang terbanyak ditemukan di alam. Hampir seluruh senyawa alkaloid berasal dari tumbuh-tumbuhan dan tersebar dalam berbagai jenis tumbuhan. Semua alkaloid mengandung paling sedikit satu atom nitrogen yang biasanya bersifat basa dan dalam sebagian besar atom nitrogen merupakan bagian dari cincin heterosiklik.

Flavonoid dan alkaloid yang ditemukan di alam mempunyai keaktifan biologis tertentu, ada yang bersifat racun sehingga bisa menimbulkan efek teratogen (Lenny, 2006). Teratogen adalah substansi yang menyebabkan kelainan perkembangan fetus (Bowman dan Rand, 1980 (dalam Lamondo, 1997)). Efek yang ditimbulkan oleh suatu teratogen turut juga dipengaruhi oleh kapan teratogen itu mengkontaminasi embrio tersebut. Jika efek suatu teratogen menimpa embrio pada tahap organogenesis, yaitu ketika pembentukan organ-organ sedang giat-giatnya berlangsung, maka perkembangan organ dapat terganggu dan mungkin terwujud menjadi kecacatan yang dapat teramati saat lahir (Hutahean, 2002).

Tahap organogenesis merupakan tahap dimana sel secara intensif mengalami diferensiasi dan mobilisasi, akibatnya embrio sangat rentan terhadap efek teratogen. Periode ini biasanya berakhir pada hari ke 10-14 kehamilan pada hewan pengerat (Panjaitan, 2003). Lu (dalam Panjaitan, 2003) menyatakan bahwa ”Sebagian besar embrio mencit mulai rentan pada hari ke 8 dan berakhir pada hari ke 12 kehamilan”.

Sementara itu sarang semut merupakan salah satu obat yang digunakan oleh masyarakat sebagai obat anti kanker. Kemampuan sarang semut secara empiris untuk pengobatan kanker berkaitan dengan kandungan flavonoid dan alkaloidnya (Subroto dan Hendro, 2008). Selain sebuah golongan senyawa murni yang telah berhasil diisolasi dari ekstrak heksana Hydnophytum formicarum adalah stigmasterol yang memiliki aktivitas sitotoksik terhadap sel (Subroto (dalam Trubus, 2006)). Stigmasterol adalah suatu senyawa dengan rumus C29H48O yang memiliki berat molekul 412,691 (Wikipedia, 2009). Berndt (dalam Ilyas, 2004) menyebutkan bahwa ”Stigmasterol dapat disintesis menjadi progesteron. Selanjutnya Paltodihardjo (dalam Ilyas, 2004) hormon progesteron mampu mencegah perkembangan folikel ovarium yang baru dan mencegah terjadinya ovulasi. Aktivitas stigmasterol dapat mengganggu proses miotik sel telur dan mengakibatkan gagalnya pemasakan sel telur dan kebuntingan (Ilyas, 2004).

Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa fenol (Harbone (dalam Indraswari, 2008)). Flavonoid merupakan senyawa yang memiliki berat molekul 286 sehingga lebih mudah melewati barier plasenta (Soegihardjo, 2004). Hal ini sesuai dengan pernyataan Parker (dalam Lamondo, 1997) bahwa ” Senyawa dengan berat molekul kurang dari 600 mudah melewati barier plasenta. Selain itu senyawa-senyawa bioaktif dan senyawa kimia yang dikonsumsi oleh ibu hamil dapat melintasi membran plasenta dan masuk ke sirkulasi janin disebabkan oleh struktur membran plasenta yang terdiri dari sel epitel vili dan sel endotelial kapiler yang mirip dengan saluran pencernaan (Said, 2001).

Mekanisme kerja flavonoid sebagai obat anti kanker yaitu mengganggu dan menghambat perkembangan sel yang sedang membelah (Muis, 1996). Pertumbuhan dan perkembangan embrio bergantung pada pertumbuhan dan perbanyakan sel-sel yang menyusunnya (Muis, 1996). Suatu sel akan terhambat pertumbuhan dan perkembangannya karena adanya gangguan pada salah satu siklus misalnya pada fase sintesis DNA (fase S), fase pembentukan (fase M) atau menghambat yang tidak spesifik pada suatu fase tertentu (Muis, 1996). Berdasarkan berbagai penelitian, senyawa flavonoid bersifat inhibitor terhadap enzim DNA topoisomerase sel (Ikawati, 2008). Zat-zat yang mengganggu replikasi dan trarkripsi DNA dapat menyebabkan matinya sel (Santos, 1992). Penyebab matinya sel dihubungkan dengan kerusakan DNA karena zat-zat tertentu secara selektif dapat menyebabkan kelainan pada janin (Santos, 1992). Selain itu Nigg dan Seigler (dalam Wijayanti, 2003) menyatakan bahwa ”Alkaloid dan flavonoid dapat meracuni embrio”. Selanjutnya Meles dan Ketut (2007) menyatakan bahwa ”Senyawa alkaloid dapat menghambat fertilisasi dan menghambat pembelahan set embrio serta menghambat pembelahan mitosis zigot maupun embrio pada stadium metafase”. Oleh karena itu senyawa flavanoid dan alkaloid yang berfungsi sebagai anti kanker dapat bersifat sitotoksik. Berdasarkan hal ini, jika sarang semut dikonsumsi oleh ibu hamil diduga dapat menyebabkan kelainan perkembangan pada embrio.

2.4 Hipotesis

Berdasarkan uraian di atas hipotesis penelitian ini adalah ”Terdapat efek infus Sarang Semut (Hydnophytum formicarum Jack) yang diberikan pada tahap organogenesis terhadap perkembangan embrio Mencit (Mus musculus L)”.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat Dan Waktu Penelitian

3.1.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Zoologi Jurusan Biologi, F. MIPA Universitas Negeri Gorontalo.

3.1.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian yang diperlukan yaitu selama 4 bulan (April sampai Juli 2009) mulai dari persiapan sampai penyusunan laporan hasil penelitian.

3.2 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen dengan desain Rancangan Acak Lengkap (RAL).

Perlakuan dalam penelitian ini terdiri dari 4 perlakuan dengan 4 ulangan, sehingga jumlah unit percobaan 4 x 4 = 16. Lay out dapat dilihat pada tabel 1.

Perlakuan A :Mencit yang diberi infus sarang semut dengan dosis 10,8 % b/v

Perlakuan B : Mencit yang diberi infus sarang semut dengan dosis 7,2 % b/v

Perlakuan C : Mencit yang diberi infus sarang semut dengan dosis 3,6 % b/v

Perlakuan D : Mencit yang diberi aquades (kontrol)

1, 2, 3, dan 4 merupakan ulangan.

3.3 Variabel Penelitian

Variable dalam penelitian ini terdiri atas:

1. Variabel bebas (X) yaitu dosis infus sarang semut (Hydnophytum formicarum Jack) yang diberikan pada tahap organogenesis.

2. Variabel terikat (Y) yaitu perkembangan embrio mencit (Mus musculus L) dengan parameter yakni berat embrio, jumlah embrio yang hidup, jumlah embrio mati, jumlah embrio resorbsi, jumlah embrio normal dan jumlah embrio yang mengalami malformasi.

3.4 Subjek Penelitian

Subyek penelitian ini adalah 16 ekor mencit betina galur Swiss Webster, dewasa berumur 2-3 bulan dengan berat badan 20-30 gram, belum pernah bunting, memiliki siklus estrus teratur, dan sehat. Mencit diperoleh dari laboratorium Universitas Negeri Makkasar. Mencit ditempatkan pada kandang yang terpisah diberi alas sekam dan ditempatkan dalam ruang dengan siklus cahaya kurang lebih 12 jam gelap dan 12 jam terang. Mencit diberi pakan berupa pakan anak ayam produksi PT Charoen Popkhan Indonesia dan air minum secara ad libitum.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

3.5.1 Alat Dan Bahan Yang Digunakan

Alat: Kandang fisiologis, Alat bedah, Pipet, Gelas ukur, Sarung tangan, Masker, Alat tulis menulis, Satu unit alat pembuatan infus, Pisau, Spuit ukuran 1 ml dengan kanal diujungnya, Kamera, Neraca Ohauss, Neraca Analitik, Blender.

Bahan: Sarang semut, Aquades steril, Larutan garam fisiologis, Pakan untuk mencit.

3.5.2 Prosedur Penelitian

1. Persiapan Hewan Uji

Sebelum penelitian ini dimulai, mencit diadaptasikan selama 2 minggu dalam kandang yang terbuat dari kayu dan besi sebanyak 4 buah, dimana masing-masing kandang terbagi atas 4 ruangan dengan ukuran masing-masing ruang yaitu panjang 25 cm, lebar 25 cm dan tinggi 25 cm, bertutup dan diberi alas serbuk gergaji. Ruangan percobaan bersuhu 27ÂșC dan diberi pencahayaan dengan lampu listrik selama 12 jam setiap hari dari pukul 06.00-18.00.

Setelah masa adaptasi dilakukan pemeriksaan siklus estrus selama 2 kali siklus dengan cara membuat preparat apus vagina. Setelah mendapatkan mencit dengan siklus estrus teratur sebanyak 16 ekor, selanjutnya dilakukan pembagian secara acak menjadi 4 kelompok, setiap kelompok terdiri atas 4 ekor mencit.

Mencit-mencit yang telah mengalami estrus dikandangkan bersama-sama dengan mencit jantan, tiap satu kelompok mencit betina didalamnya dimasukkan satu ekor mencit jantan pada sore hari. Lalu pada keesokan paginya diperiksa ada tidaknya sumbat vagina. Bila terdapat sumbat vagina ditentukan sebagai kebuntingan hari ke-1. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kaufmann (dalam Santoso dan Nurliani, 2006) bahwa ”Pencampuran mencit jantan dan betina dilakukan sore hari dan apabila pada keesokan harinya ditemukan sumbat vagina maka pada hari itu ditentukan sebagai kebuntingan hari ke-1”.

2. Persiapan bahan uji

Sarang semut dikupas kulitnya kemudian dipotong tipis melebar, lalu dikering anginkan sampai kering kurang lebih selama 7 hari. Setelah kering, selanjutnya dipotong dengan ukuran lebih kecil kemudian digiling sampai halus. Hasil akhir yang diperoleh berbentuk bubuk.

3. Penentuan Dosis dan Pembuatan Infus Sarang Semut

Penentuan dosis berdasar atas dosis terapi pada manusia (berat badan 70kg) dikonversikan kepada mencit (berat badan 20g) berdasarkan tabel konversi Laurence-Bacharach (1964) yaitu 0,0026 (dalam Said, 2001). Dosis terapi infus sarang semut untuk manusia adalah 10.000 mg. Konversi dosis manusia (70 kg) ke mencit (20 g) adalah 0,0026. Jadi dosis infus sarang semut untuk mencit (20g) = 70/50 x 0,0026 x 10.000mg = 36 mg/20g BB = 1800 mg/KgBB. Dalam penelitian ini dibuat tiga peringkat dosis, dua dosis yang terakhir diperoleh dengan melipatkan dosis hasil konversi dari manusia ke mencit sebagai berikut:

36 mg/20g BB = 3,6 % b/v

72 mg/20g BB = 7,2 % b/v

108mg/20g BB = 10,8 % b/v

Pembuatan infus dimulai dengan penimbangan serbuk sesuai dengan dosis yang digunakan untuk hewan uji. Mengingat pembuatan infus dalam bentuk % b/v maka untuk dosis 108 mg/20g BB menjadi 10,8% = 10,8g dalam 100 ml aquades. Pada mencit volume aman pemberian adalah 1 ml, maka 1 ml mengandung 0,108g serbuk, sedangkan perlakuan infus sarang semut yang sebenarnya 10,8g dalam 100 ml, maka dosis infus sarang semut dibuat dengan menimbang 10,8g serbuk sarang semut. Selanjutnya serbuk tersebut dimasukkan ke dalam Erlenmeyer dan diberi aquades 100 ml, kemudian dimasukkan ke dalam penangas air yang berisi 250 ml air. Dipanaskan di atas kompor listrik selama 15 menit pada suhu 900C sambil sekali-kali diaduk kemudian diangkat dan disaring . Bila setelah disaring volume kurang dari 100 ml maka ditambahkan air panas secukupnya melalui ampas hingga diperoleh volume infus sebanyak 100 ml. Untuk mendapatkan infus sarang semut dosis 7,2 % b/v dan 3,6 % b/v dilakukan pengenceran dari dosis 10,8 %b/v.

4. Pelaksanaan Penelitian

Enam belas ekor mencit betina bunting dikelompokkan menjadi 4 kelompok secara acak. Kelompok A diberi perlakuan dengan infus sarang semut dosis 10,8 %b/v, kelompok B dosis 7,2 % b/v, kelompok C dosis 3,6 % b/v, dan kelompok D diberi aquades sebagai kontrol.

Perlakuan diberikan selama masa organogenesis, yakni mulai hari ke-6 sampai dengan hari ke-15 kebuntingan. Pemberian perlakuan dilakukan secara oral dengan spuit injeksi 1 ml. Pada hari ke-18 kebuntingan mencit dibedah untuk pemeriksaan embrio.

5. Pengambilan Data

Pengambilan data dilakukan pada umur 18 hari kebuntingan dengan cara mencit betina dibunuh dengan cara dislokasi leher dan dibedah secara caesar. Pengamatan embrio dilakukan dengan menggunakan lup, selanjutnya menghitung jumlah embrio yang hidup, jumlah embrio mati, jumlah embrio yang resorbsi, jumlah embrio normal, jumlah embrio yang mengalami malformasi dan menimbang berat badan embrio selanjutnya dicatat sebagai data.

3.6 Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua cara yaitu analisis deskiptif dan analisis statistik. Analisis deskriptif digunakan pada semua parameter. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan analisis non-parametrik untuk rancangan acak lengkap (RAL) dengan menggunakan Uji Kruskall Wallis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar